Senin, 29 April 2013

PENDIDIKAN ISLAM DALAM MASA KEMUNDURAN



PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEMUNDURAN
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Yang diampu oleh bapak Drs.H Multazam Ahmad M.Ag.






Disusun Oleh :
1.      Andriyanto
2.      M. Ikhwanuddin
3.      Afifatuz Zahroh
4.      Puji Astuti


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013

PENDAHULUAN
Umat Islam agar selalu berpacu dan mengembangkan diri harus selalu melakukan inovasi serta berkreativitas supaya dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan hidup. Hal ini setidaknya telah menjadi perhatian pada penguasa atau khalifah pada masa-masa jayanya Islam yang terletak pada kekuasaan Daulah Abbasiyah. Pola pendidikan pada masa kejayaan ini sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pola pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistis, yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin, sehingga mengabaikan perkembangan dunia material. Pola pendidikan yang dikembangkannya pun tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya islam yang bersifat material. Dari aspek iniah dikatakan pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran, atau setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami kemandegan.
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sebab-sebab terjadinya kemunduran pendidikan islam?
2.      Bagaimana proses kemunduran itu terjadi?





A.      Masa Kemunduran Pendidikan Islam.
Sepanjang sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam telihat dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pembangan pola pendidikan umat Islam. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi. Pola pendidikan ini sangat memperhatikan aspek-aspek batiniah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Sedangkan dari pola pemikiran yang rasional, yang mempentingkan akal pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional. Pola pendidikan bentuk kedua ini sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.[1]
M.M Sharif dalam bukunya muslim thought, mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tesebut sebagai berikut: .. “telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak diantara abad VII dan abad ke XIII M .. kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan Eropa (renaissance)”.[2]
Selanjutnya diungkapkan oleh M.M Sharif, bahwa pemikiran Islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidak mampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidak mampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Terjadilah kebekuan intelektual secara total dan kehancuran total yang dialami oleh kota Baghdad dan Cordova sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan islam, menandai untuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam.[3]
a.    Kehancuran Baghdad
     Sejak tahun 132 H/750 M daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas Ash-shaffa. Daulah ini berlangsung sampai tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang itu di laluinya dengan pola pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan politik, sosial, budaya dan penguasa. Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, namun pembina sebenarnya adalah Abu Ja’far Al-Manshur. Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayya, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa mulai dikucilkan dari kekuasaan.
     Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, pada tahun 767 M Abu Ja’far kemudian memindahkan ibu kota dari Al-Hasyimiyah, dekat Kuffah ke kota yang baru di bangunnya, Baghdad, sebagai pusat peradaban Islam. Pada kemimpinan Al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani dan mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan-temuan ilmiyah yang baru.[4]
     Pada masa imperium Abbasiyah dikenal sebagai kurun keemasan. Namun selanjutnya juga mengalami kemunduran dan pada umumnya para sejarawan menetapkan bahwa kehancuran Baghdad di Timur (1258 M) dan Cordova di barat (1236 M) sebagai awal periode kemunduran yang tidak telepas dengan konotasi kemunduran pendidikan yang di tandai kemunduran intelektual.[5]
     Faktor-faktor yang membuat Baghdad menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi faktor interen dan faktor eksteren. Dianta faktor interen adalah:
                    i.     Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turkei.
                  ii.     Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
                iii.     Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad.
                iv.     Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
Adapun faktor eksteren antara lain adalah:
                    i.     Perang salib yang terjadi beberapa gelombang.
                  ii.     Hadirnya tentara Mongol dibawah pimpinan hulagukhan. Yang terakhir inilah yang secara langsung menyebabkan hancurnya daulah Abbasiyah dan menguasai kota Baghdad, yaitu masa khalifah Al-Musta’sim, penguasa akhir Bani Abbas (1242- 1258).[6]
b.   Kehancuran Cordova.
     Penaklukan Spanyol tidak terlepas dari tiga jasa tiga orang pemimpin satuan-satuan pasukan, mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada diantara Maroko dan Benua Eropa, itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang diantaranya adalah pasukan berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan perang yang tidak sedikit jumlahnya.
     Dengan dikuasainya daerah pegunungan Jabal Thariq, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dengan hasil pertempuran tersebut, maka Islam masuk ke Spanyol pada tahun 711 dengan merebut kekuasaan dari Goth Barat, yakni kekaisaran Visigoth (419-711). Thariq dengan mudah menguasai wilayah-wilayah Spanyol seperti Toled, Seville, Malaga, Elvira dan Cordova.
     Dinasti Umayyah membangun kekuasaan di Spanyol dengan nama Daulah Umayyah (756-1031) dan menjadikan Cordova sebagai ibu kota dibawah pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil (Abdurrahman I), yang memerintah tahun 756-788. Sejak itu Cordova mulai melangkah maju. Cordova memasuki puncak kejayaanya di bawah pemerintahan Abdurrahman III (912-961) dan Al-Hakam II (961-976).
     Kehadiran Islam di Spanyol bagaikan dewa penolong bagi rakyat Spanyol karena selama ini mereka menderita dan tertekan oleh kekejaman penguasa Raja Gothic. Perkembangan peradaban Spanyol Islam terbentuk bukan hanya karena sentuhan dari tradisi Arab-islam, akan tetapi lebih dari itu karena akibat persentuhan peradaban yang di bawah oleh Arab-Islam dengan kebudayaan masyarakat multibudaya inilah yang akhirnya terikat menjadi satu. Sehingga dalam waktu singkat Spanyol berubah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di belahan Barat.
     Toleransi beragama di tegakkan oleh para penguasa terhadap para penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab-Islam. Setelah mencapai kemajuan dan kesuksesan kurang lebih selama delapan abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, keberadaan peradaban Spanyol dengan Cordova sebagai pusat ibu kota negaranya yang begitu besar, tak mampu bertahan lebih lama. Jika Baghdad mengalami masa kemunduran dan kehancuran setelah mencapai puncak kejayaannya, maka Cordova di Spanyol juga demikian halnya.
     Kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam di Spanyol disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
                                 I.          Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya perebutan kekuasaan diantara ahli waris. Konflik dalam keluarga inilah yang menyebabkan ditaklukannya sebuah dinasti oleh dinasti lain, dan bahkan jatuhnya supremasi Islam.
                              II.          Lemahnya figur dan karismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al-Hakam II. Khalifah tidak lebih sebagai simbol saja, sedangkan yang menjalankan pemerintahan berada sepenuhnya di tangan wazir.
                           III.          Perselisihan di kalangan umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan, atau karena perbedaan suku dan kelompok yang justru menjadi peluang bagi pihak Kristen untuk memecah belah umat Islam.
                           IV.          Konflik Islam dengan Kristen, kebijakan para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi secara sempurna, tapi membiarkan orang-orang Kristen mempertahankan hukum dan tradisi mereka, asalkan tetap membayar upeti dan tidak mengadakan perlawanan bersenjata. Padahal kehadiran Arab-Islam itu memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen.
                              V.          Munculnya Muluk at-Thawaif (kerajaan-kerajaan kecil) yang masing-masing saling berebut kekuasaan. Bahkan antara dinasti yang satu tidak segan menyatu dengan sebuah kerajaan Kristen untuk menghancurkan dinasti yang lain.
     Dalam posisi yang lemah karena faktor-faktor tersebut diatas, muncul serangan dari Kristen yang sudah menyatu.[7]
B.       KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM PASCA KEHANCURAN BAGHDAD DAN CORDOVA.
Kehancuran total yang dialami oleh Baghdad dan Cordova sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pengetahuan di timur dan barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam, terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin dan spiritual.
Kehancuran dan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material ini, dan beralihnya secara drastis pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslim.[8]
PENUTUP
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang dari periode klasik dengan banyak saluran, seperti Baghdad dan Spanyol Islam. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke 12 M itu  menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (reaissance) pusaka Yunani di Eropa dengan melalui terjemah-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian di terjemahkan kembali kedalam bahasa latin, walaupun akhirnya Islam terusir dari negara Spanyol tetapi ia telah membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa diantaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd, yang telah melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir.
Kemunduran pendidikan Islam pasca jatuhnya Baghdad dan Cordova tersebut sesungguhnya hanya karena akibat dari faktor-faktor kehancuran kekuasaan Islam (sosial, politik dan keagamaan) sebagaimana yang telah dibawas di muka, bahwa dengan jatuhnya pusat-pusat kekuasaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Di samping itu juga, ternyata yang dialami oleh dunia pendidikan adalah sama, baik kaum Nasrani Spanyol maupun tentara Mongol sama sekali belum dapat menghargai betapa tingginya nilai ilmu pengetahuan.
Sepanjang sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam, yakni pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang sealu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis (pendidikan Sufi), yang sangat memperhatikan aspek batiniah, sedangkan pola pemikiran yang rasional, yang mementingkan akal pikiran, meniimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistis, sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan Islam dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran, setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami kemandekan.

DAFTAR PUSTAKA
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Era Rosullullah Sampai Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, Vol. 1 Agustus 2007.
Zuhairi dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 1997.


[1] Dra.Zuhairini,dkk. Sejarah Penididkan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1994. Hal. 109
[2] Ibid. Hal. 110
[3] Ibid. Hal. 111
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri jejak sejarah era Rasullullah sampai Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, vol. 1, 2007) hal. 172
[5] Ibid hal. 173
[6] Ibid hal. 173
[7] Ibid hal. 176
[8] Ibid hal. 177