PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEMUNDURAN
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Yang diampu oleh bapak Drs.H Multazam Ahmad M.Ag.
Disusun Oleh :
1.
Andriyanto
2.
M. Ikhwanuddin
3.
Afifatuz Zahroh
4.
Puji Astuti
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
PENDAHULUAN
Umat Islam agar
selalu berpacu dan mengembangkan diri harus selalu melakukan inovasi serta
berkreativitas supaya dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan hidup. Hal ini
setidaknya telah menjadi perhatian pada penguasa atau khalifah pada masa-masa
jayanya Islam yang terletak pada kekuasaan Daulah Abbasiyah. Pola pendidikan
pada masa kejayaan ini sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan
penguasaan material.
Pada masa
jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam,
sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pola pemikiran
rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia barat (Eropa) dan dunia Islam
pun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola
pemikiran sufistis, yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin,
sehingga mengabaikan perkembangan dunia material. Pola pendidikan yang
dikembangkannya pun tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya islam yang
bersifat material. Dari aspek iniah dikatakan pendidikan dan kebudayaan Islam
mengalami kemunduran, atau setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam
mengalami kemandegan.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sebab-sebab terjadinya kemunduran pendidikan islam?
2.
Bagaimana proses
kemunduran itu terjadi?
A.
Masa Kemunduran
Pendidikan Islam.
Sepanjang
sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam telihat dua pola yang saling
berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pembangan pola
pendidikan umat Islam. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang
selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola
pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi. Pola pendidikan ini
sangat memperhatikan aspek-aspek batiniah dan akhlak atau budi pekerti manusia.
Sedangkan dari pola pemikiran yang rasional, yang mempentingkan akal pikiran,
menimbulkan pola pendidikan empiris rasional. Pola pendidikan bentuk kedua ini
sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.[1]
M.M
Sharif dalam bukunya muslim thought, mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan
dan kebudayaan Islam tesebut sebagai berikut: .. “telah kita saksikan bahwa
pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu
yang terletak diantara abad VII dan abad ke XIII M .. kemudian kita
memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai
satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan
pembangkitan Eropa (renaissance)”.[2]
Selanjutnya
diungkapkan oleh M.M Sharif, bahwa pemikiran Islam menurun setelah abad ke XIII
M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. Dengan semakin ditinggalkannya
pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam,
karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi
budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidak mampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan
baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidak
mampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Terjadilah kebekuan intelektual secara total dan kehancuran
total yang dialami oleh kota Baghdad dan Cordova sebagai pusat-pusat pendidikan
dan kebudayaan islam, menandai untuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam.[3]
a.
Kehancuran Baghdad
Sejak tahun 132 H/750 M daulah Abbasiyah
dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas Ash-shaffa. Daulah ini
berlangsung sampai tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang itu di laluinya dengan
pola pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan politik, sosial,
budaya dan penguasa. Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, namun
pembina sebenarnya adalah Abu Ja’far Al-Manshur. Dia dengan keras menghadapi
lawan-lawannya dari Bani Umayya, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa mulai
dikucilkan dari kekuasaan.
Untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, pada tahun 767 M Abu Ja’far kemudian
memindahkan ibu kota dari Al-Hasyimiyah, dekat Kuffah ke kota yang baru di
bangunnya, Baghdad, sebagai pusat peradaban Islam. Pada kemimpinan Al-Ma’mun
menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan
menerjemahkan buku-buku dari Yunani dan mengembangkan ilmu-ilmu dengan
mendapatkan temuan-temuan ilmiyah yang baru.[4]
Pada masa imperium Abbasiyah dikenal
sebagai kurun keemasan. Namun selanjutnya juga mengalami kemunduran dan pada
umumnya para sejarawan menetapkan bahwa kehancuran Baghdad di Timur (1258 M)
dan Cordova di barat (1236 M) sebagai awal periode kemunduran yang tidak
telepas dengan konotasi kemunduran pendidikan yang di tandai kemunduran
intelektual.[5]
Faktor-faktor yang membuat Baghdad menjadi
lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi faktor interen dan faktor
eksteren. Dianta faktor interen adalah:
i. Adanya
persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah
Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turkei.
ii. Adanya
konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik
berdarah.
iii. Munculnya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad.
iv. Kemerosotan
ekonomi akibat kemunduran politik.
Adapun
faktor eksteren antara lain adalah:
i. Perang
salib yang terjadi beberapa gelombang.
ii. Hadirnya
tentara Mongol dibawah pimpinan hulagukhan. Yang terakhir inilah yang secara
langsung menyebabkan hancurnya daulah Abbasiyah dan menguasai kota Baghdad,
yaitu masa khalifah Al-Musta’sim, penguasa akhir Bani Abbas (1242- 1258).[6]
b.
Kehancuran
Cordova.
Penaklukan Spanyol tidak terlepas dari tiga
jasa tiga orang pemimpin satuan-satuan pasukan, mereka adalah Tharif bin Malik,
Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis
dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada diantara Maroko dan Benua
Eropa, itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang diantaranya adalah
pasukan berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian.
Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang
dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan perang yang tidak sedikit
jumlahnya.
Dengan dikuasainya daerah pegunungan Jabal
Thariq, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam
pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat
dikalahkan. Dengan hasil pertempuran tersebut, maka Islam masuk ke Spanyol pada
tahun 711 dengan merebut kekuasaan dari Goth Barat, yakni kekaisaran Visigoth
(419-711). Thariq dengan mudah menguasai wilayah-wilayah Spanyol seperti Toled,
Seville, Malaga, Elvira dan Cordova.
Dinasti Umayyah membangun kekuasaan di
Spanyol dengan nama Daulah Umayyah (756-1031) dan menjadikan Cordova sebagai
ibu kota dibawah pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil (Abdurrahman I), yang
memerintah tahun 756-788. Sejak itu Cordova mulai melangkah maju. Cordova
memasuki puncak kejayaanya di bawah pemerintahan Abdurrahman III (912-961) dan
Al-Hakam II (961-976).
Kehadiran Islam di Spanyol bagaikan dewa
penolong bagi rakyat Spanyol karena selama ini mereka menderita dan tertekan
oleh kekejaman penguasa Raja Gothic. Perkembangan peradaban Spanyol Islam
terbentuk bukan hanya karena sentuhan dari tradisi Arab-islam, akan tetapi
lebih dari itu karena akibat persentuhan peradaban yang di bawah oleh Arab-Islam
dengan kebudayaan masyarakat multibudaya inilah yang akhirnya terikat menjadi
satu. Sehingga dalam waktu singkat Spanyol berubah menjadi pusat pengembangan
ilmu pengetahuan Islam di belahan Barat.
Toleransi beragama di tegakkan oleh para
penguasa terhadap para penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut
berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab-Islam. Setelah mencapai kemajuan dan
kesuksesan kurang lebih selama delapan abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan,
keberadaan peradaban Spanyol dengan Cordova sebagai pusat ibu kota negaranya
yang begitu besar, tak mampu bertahan lebih lama. Jika Baghdad mengalami masa
kemunduran dan kehancuran setelah mencapai puncak kejayaannya, maka Cordova di
Spanyol juga demikian halnya.
Kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam
di Spanyol disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
I.
Tidak jelasnya
sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya perebutan kekuasaan
diantara ahli waris. Konflik dalam keluarga inilah yang menyebabkan ditaklukannya
sebuah dinasti oleh dinasti lain, dan bahkan jatuhnya supremasi Islam.
II.
Lemahnya figur
dan karismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al-Hakam II.
Khalifah tidak lebih sebagai simbol saja, sedangkan yang menjalankan
pemerintahan berada sepenuhnya di tangan wazir.
III.
Perselisihan di
kalangan umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan, atau
karena perbedaan suku dan kelompok yang justru menjadi peluang bagi pihak
Kristen untuk memecah belah umat Islam.
IV.
Konflik Islam
dengan Kristen, kebijakan para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi
secara sempurna, tapi membiarkan orang-orang Kristen mempertahankan hukum dan
tradisi mereka, asalkan tetap membayar upeti dan tidak mengadakan perlawanan bersenjata.
Padahal kehadiran Arab-Islam itu memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol
Kristen.
V.
Munculnya Muluk
at-Thawaif (kerajaan-kerajaan kecil) yang masing-masing saling berebut
kekuasaan. Bahkan antara dinasti yang satu tidak segan menyatu dengan sebuah kerajaan
Kristen untuk menghancurkan dinasti yang lain.
Dalam posisi yang lemah karena
faktor-faktor tersebut diatas, muncul serangan dari Kristen yang sudah menyatu.[7]
B.
KEMUNDURAN
PENDIDIKAN ISLAM PASCA KEHANCURAN BAGHDAD DAN CORDOVA.
Kehancuran
total yang dialami oleh Baghdad dan Cordova sebagai pusat-pusat pendidikan dan
kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan
Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu
pengetahuan dari kedua pusat pengetahuan di timur dan barat dunia Islam
tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam, terutama
dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam
bidang kehidupan batin dan spiritual.
Kehancuran
dan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang
kehidupan intelektual dan material ini, dan beralihnya secara drastis
pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari
dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslim.[8]
PENUTUP
Kemajuan
Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berutang budi kepada
khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang dari periode klasik dengan
banyak saluran, seperti Baghdad dan Spanyol Islam. Pengaruh ilmu pengetahuan
Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke 12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali
(reaissance) pusaka Yunani di Eropa dengan melalui terjemah-terjemahan Arab
yang dipelajari dan kemudian di terjemahkan kembali kedalam bahasa latin,
walaupun akhirnya Islam terusir dari negara Spanyol tetapi ia telah membidangi
gerakan-gerakan penting di Eropa diantaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd, yang
telah melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir.
Kemunduran
pendidikan Islam pasca jatuhnya Baghdad dan Cordova tersebut sesungguhnya hanya
karena akibat dari faktor-faktor kehancuran kekuasaan Islam (sosial, politik
dan keagamaan) sebagaimana yang telah dibawas di muka, bahwa dengan jatuhnya
pusat-pusat kekuasaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan
kebudayaan Islam. Di samping itu juga, ternyata yang dialami oleh dunia
pendidikan adalah sama, baik kaum Nasrani Spanyol maupun tentara Mongol sama
sekali belum dapat menghargai betapa tingginya nilai ilmu pengetahuan.
Sepanjang
sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling
berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan
pola pendidikan umat Islam, yakni pola pemikiran yang bersifat tradisional,
yang sealu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola
pemikiran sufistis (pendidikan Sufi), yang sangat memperhatikan aspek batiniah,
sedangkan pola pemikiran yang rasional, yang mementingkan akal pikiran,
meniimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat memperhatikan
pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada
masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia Islam,
sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pemikiran rasional
diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun
meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola
pemikiran sufistis, sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangan
budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan Islam dan
kebudayaan Islam mengalami kemunduran, setidak-tidaknya dapat dikatakan
pendidikan Islam mengalami kemandekan.
DAFTAR
PUSTAKA
Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Era Rosullullah
Sampai Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, Vol. 1 Agustus 2007.
Zuhairi
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 1997.
[1]
Dra.Zuhairini,dkk. Sejarah Penididkan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta,
1994. Hal. 109
[2] Ibid.
Hal. 110
[3] Ibid.
Hal. 111
[4] Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri jejak sejarah era Rasullullah
sampai Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, vol. 1, 2007) hal. 172
[5] Ibid
hal. 173
[6] Ibid
hal. 173
[7] Ibid
hal. 176
[8] Ibid
hal. 177